Minggu, 17 Maret 2019

40. Pengalaman mukjizat seorang anak pengemis Bgn 2



Pengalaman mukjizat seorang anak pengemis
(Bagian 2) 
 

 

21.

“Sekitar 25 tahun yang silam dari hari ini, yakni ulang tahun putraku yang ke-5, kami menyelenggarakan pesta ulang tahun buat dirinya. Siapa yang menduga, ketika pesta bubar, kami kehilangan jejaknya, seluruh anggota keluarga panik dan sibuk melakukan pencarian.


Saat itu saya mengerahkan segenap daya upaya untuk mencari putraku, bahkan di seluruh pelosok negeri, meskipun telah menghabiskan banyak harta benda namun juga tak kunjung menemukan titik terang, seolah-olah hilang ditelan Bumi, lenyap tak berbekas”.







22.
“Dua bulan yang lalu, saya menjual semua barang berhargaku, memutuskan mengembara pergi mencari putraku, setibanya saya di kota ini, tubuhku merasakan kelelahan yang luar biasa, saya tidak sanggup meneruskan perjalananku lagi”.




23.
“Namun saya tidak pernah putus asa, selama belum menemukan putraku, saya tidak dapat tidur nyenyak. Jika dia masih hidup, sekarang telah menginjak usia 15 tahun, mungkin melewati hidup mengembara dan bekerja mencari nafkah.

Kemudian saya membeli manor (rumah bangsawan) terbesar di kota ini, dengan gaji berkali lipat untuk memancing para tunawisma datang bekerja di rumahku, berharap dengan cara ini dapat membantuku menemukan kembali putraku”.




24.
“Tuhan takkan mengabaikan orang yang punya kemauan keras, setelah 10 tahun berlalu, suatu hari usai makan malam, saya berjalan-jalan di sekitar taman, di depan pintu tampak berdiri seorang pengemis.

Ketika dia mengangkat kepalanya, saya langsung mengenalinya, bukankah dia adalah putraku? !  Saya tidak sanggup mengendalikan kegembiraanku, cepat-cepat menyuruh pengawalku pergi membawanya ke hadapanku.

Alangkah kasihannya putraku yang malang, selama 20 tahun hidup mengembara, setiap saat dilanda perasaan khawatir dan waspada, mengira diriku hendak mencelakainya, sehingga ketakutan dan jatuh pingsan. Saya menyesali sikap gegabahku, dengan berat hati membiarkannya pergi”.




25.
Setelah mendengar cerita Ayah angkat sampai di sini, saya merasakan aliran listrik mengalir di sekujur tubuhku, terbayang pada hari pertama diriku tiba di kota ini. Masih jelas dalam ingatanku, saya melihat di dalam taman terdapat sejumlah orang, lansia yang datang melamar kerja dan menjadi rekan kerjaku, kemudian sosok Ayah angkat yang berdiri di hadapanku, satu persatu tayangan tersebut muncul dalam ingatanku.




26.
“Setelah melewati berbagai kesulitan, akhirnya saya berhasil menemukan kembali putraku, makanya saya berusaha memikirkan segala cara, supaya kami Ayah dan anak dapat berkumpul kembali.

Akhirnya saya menyuruh dua orang untuk menyamar sebagai pelayan rumahku, sengaja berbicara di hadapan putraku, lalu menuntunnya masuk dan bekerja di rumahku.”




27.
“Saya memperhatikan perilaku anak muda ini, selain makan dan punya tempat tinggal tetap, dia tidak memiliki keinginan lainnya lagi, selain itu orangnya sangat tertutup, tidak percaya pada diri sendiri dan curiga pada orang lain. 

Dengan kondisi dirinya itu, saya hanya bisa menugaskannya membersihkan kakus, yang penting dia dapat menetap dengan hati yang tenang di rumah ini, jangan sampai dia merasa curiga.

Secara diam-diam saya selalu mengawasi dirinya, hal ini diketahui dirinya, sehingga dia meningkatkan kewaspadaan. Pada saat begini, saya jadi sadar, jarak yang paling jauh di dunia ini bukanlah diukur dari jauhnya keberadaan antara anda dan saya, tetapi meskipun saya berada di hadapanmu, namun saya hanya sanggup memandangmu secara diam-diam dari kejauhan”.




28.
Usai mendengar cerita Ayah angkat sampai di sini, sejak awal sepasang mataku telah dipenuhi air mata, tidak sanggup berkata lagi. Setelah berhasil menenangkan diri, Ayah angkat melanjutkan perkataannya : “Untunglah putraku yang malang perlahan-lahan mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga saya dapat mewujudkan rencanaku yang berikutnya, menyamar menjadi pelayan baru dan kebetulan ditugaskan di tempat yang sama dengan putraku, akhirnya jarakku dengannya semakin dekat.”




29.
“Setelah tinggal bersama selama satu kurun waktu, putraku mulai mengurangi perasaan curiganya, menerima kehadiran dan kebaikanku padanya. Dibawah bimbinganku, dia mulai membuka hati dan melapangkan pikirannya, dia mulai menaruh minat terhadap hal-hal baru, mulai menaruh harapan baru terhadap kehidupan ini.




30.
“Segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana, setelah menemukan waktu yang cocok, saya berterus terang padanya bahwa saya adalah majikan rumah ini, selain itu juga memintanya menjadi anak angkatku. Melihat dirinya menyambut dengan penuh sukacita, beragam perasaan berkecamuk dalam hatiku, padahal sesungguhnya dia adalah putra kandungku, tetapi sampai sekarang cuma bisa mengakuinya sebagai anak angkat.”




31.
“Tetapi tak peduli bagaimana pun juga, peristiwa ini sudah berkembang ke arah yang bagus, saya mulai dapat membimbingnya secara resmi. Pengalamanku sendiri ditambah dengan ketekunan dirinya, kemajuannya sangat pesat, mampu mengelola usaha keluarga dan menangani segala urusan di manor (rumah bangsawan) ini.

Namun saya dapat melihat dengan jelas, segala daya upayanya hanya demi balas budi, dia mengira jerih payahnya adalah buat diriku, tidak tahu bahwa sejak awal harta benda tersebut telah jadi miliknya.




32.
Kini usiaku sudah kian lanjut, ada hal yang bila tidak dibicarakan sekarang juga, takutnya nanti fakta ini akan terkubur buat selamanya. Maka itu, hari ini yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun putraku yang ke-30, saya mengundang hadirin sekalian datang untuk menjadi saksi.

Putra kandungku adalah anak muda yang sedang duduk di hadapan kalian, dia juga merupakan anak angkatku sebelumnya, yakni Song Ni-la! Kini saya umumkan secara resmi, menyerahkan seluruh harta kekayaanku kepada putraku ini!”




33.
Saat ini saya menyadari seluruh jerih payah yang dilakukan Ayah selama ini. Kami Ayah dan anak saling berpelukan dan menangis, mengakhiri kisah perjalanan hidup kami yang penuh liku-liku.




34.
Demikianlah kisah pahit getirnya perjalanan hidupku, kini daku menyambut kebahagiaan yang menjelang, betapa bangganya diriku kini memiliki seorang Ayah yang penuh belas kasih. Apakah kalian merasa cemburu pada keberuntunganku?

Tidak perlu sama sekali, oleh karena di dalam lubuk hati setiap insan, memiliki seorang Ayah universal, yakni Buddha Amitabha.

Di dalam Sutra Usia Tanpa Batas, Buddha Sakyamuni menyampaikan bahwa Buddha Amitabha akan menganugerahkan jasa kebajikan dari hasil pelatihan diriNya kepada kita semuanya.

Ayahanda kita yang penuh Maha Maitri Karuna, Buddha Amitabha, setelah melatih diri selama berkalpa-kalpa, akhirnya berhasil mewujudkan Alam Sukhavati, tanpa syarat menganugerahkan jasa kebajikanNya tersebut kepada kita.

Malangnya kita makhluk awam ini sudah terlampau lama terombang-ambing mengembara di dalam Triloka, hati jadi sempit, sama sekali tidak percaya ada hal sebagus demikian, mengira diri sendiri tidak punya kelayakan untuk terlahir ke Alam Sukhavati.




35.
Ayahanda universal kita, Buddha Amitabha hanya bisa melihat perilaku kita dan merasakan kepiluan di dalam hatiNya, makanya terpaksa mengambil keputusan yang serupa dengan kisah perumpamaan di atas.

Oleh karena kita merasa diri kita tidak pantas menjadi penduduk Alam Sukhavati, menikmati anugerah jasa kebajikanNya, makanya Buddha Amitabha hanya bisa membiarkan diri kita melatih diri dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, serupa dengan hartawan tadi yang membiarkan putranya bekerja sendiri membersihkan kakus, sehingga dia merasa tenang menjalani hidupnya.

Demikian pula dengan praktisi pemula yang masih belum sanggup terfokus, setelah membaca sutra, membaca mantra, beramal sekian banyak, barulah hatinya bisa merasa tenang.




36.
Ayahanda universal kita, Buddha Amitabha, senantiasa berada di samping kita, mengamati segalanya, ketika akar kebajikan kita masak, Beliau akan menuntun dan memberitahukan pada kita bahwa dengan mengandalkan pelatihan diri sendiri dapat dilimpahkan dengan bertekad terlahir ke Tanah Suci Sukhavati, saat begini, barulah kita berani membangkitkan tekad terlahir ke Alam Sukhavati, serupa dengan kisah di atas, hartawan tersebut mengangkat anak angkat, menjadi satu keluarga.




37.
Setelah satu kurun waktu berlalu, Sang Buddha akan menyampaikan pada kita bahwa semua metode pelatihan diri adalah sangat bagus, tetapi untuk terlahir ke Alam Sukhavati, lebih baik melafal nama Buddha Amitabha, maka itu kita mulai terfokus melafal Amituofo.

Harus diketahui bahwa di dalam sepatah Amituofo telah mencakup seluruh jasa kebajikan Buddha Amitabha, maka itu saat kita melafal Amituofo, seketika itu juga kita telah menerima keseluruhan Alam Sukhavati, namun kita selalu berpikir bahwa diri sendiri sedang membantu Buddha Amitabha, padahal sesungguhnya kita melafal Amituofo adalah sedang membantu diri sendiri.




38.
Seiring dengan waktu melafal Amituofo kita yang kian lama kian panjang, akhirnya pada suatu hari, kita mulai menyadari jerih payah dan tujuan dari Ayahanda universal kita, Buddha Amitabha, ternyata sejak awal, Beliau memang bermaksud menyerahkan Alam Sukhavati kepada kita, hanya saja ditakutkan kita jadi terkejut dan tidak berani menerimanya, sehingga menuruti kehendak kita, bersabar menanti hingga kita tercerahkan. Padahal sesungguhnya, asalkan kita mau menganggukkan kepala, maka sejak awal seluruh Alam Sukhavati telah jadi milik kita.


Judul asli :


 

39. Pengalaman mukjizat seorang anak pengemis Bgn 1


Pengalaman mukjizat seorang anak pengemis
(Bagian 1)



 

01.

Ini merupakan sebuah senja di musim panas, saya duduk di atas sebongkah batu besar di tepi sungai. Pemandangan mentari terbenam, gunung nun jauh di sana, air mengalir, segalanya tampak begitu indah. Tanpa sadar bayangan kejadian yang baru berlalu, kembali memenuhi alam pikiranku, perubahannya sangat cepat terasa...........












02.

Tahun itu saya masih merupakan salah satu anggota dari kelompok pengemis. Sejak saya mampu mengingat hal-hal di dunia ini, tiap malam tidur sendirian di bawah kolong jembatan, saat lapar pergi mengais tumpukan sampah atau turun ke dalam selokan air mencari sisa-sisa makanan. Bagiku, asalkan dapat bertahan hidup, maka sudah cukup berterima kasih pada Langit dan Bumi.









03.

“Sepatu bolong, topi pun bolong, dimana ada tempat menetap yang tenang dan nyaman? Anda mengejekku, dia menertawaiku, ke mana daku harus mengadu?”


Hari itu sebelum mentari terbenam, saya mempercepat langkah kakiku supaya dapat mencapai sebuah kota, wilayah yang masih baru bagiku, saya belum pernah berkelana sampai kemari.

Berdiri di bawah tembok gerbang kota yang menjulang tinggi, daku memandang ke angkasa biru, memohon pada Langit, semoga di kota ini saya diperbolehkan tinggal lebih lama, jangan terburu-buru mengusirku keluar.




04.
Setelah memasuki kota, sepertinya ada sebuah kekuatan yang menuntun diriku, saya berjalan sampai ke pemukiman orang kaya, di sini berdiri villa-villa dan manor (rumah bangsawan) yang menjulang tinggi dan luas.  

Hari itu sungguh mengherankan, tidak ada seorang pun yang lalu-lalang, di jalanan hanya ada daku seorang diri yang melangkah tanpa tujuan.




05.
Ketika melewati depan pintu manor (rumah bangsawan) yang paling besar, barulah diriku sadar, “Aiya, celaka! Dengan penampilanku ini, bagaimana beraninya daku muncul di tempat berkelas seperti ini, malunya minta ampun!”. Terpikir sampai di sini, saya segera bersiap-siap mengambil langkah seribu.




06.
Pada momen inilah, ketika saya menengadahkan kepalaku, dari jauh tampak di dalam manor tersebut ada sekelompok orang, seorang lansia yang berdiri di tengah-tengah kelompok tersebut berpakaian mewah, penampilannya tampak tidak awam.

Namun beberapa saat kemudian, emosinya memuncak seperti kambing kebakaran jenggot, jari telunjuk kanannya menunjuk ke arahku dengan sangat gemetar,  mulutnya tampak sedang meneriakkan sesuatu.




07.
Ketika saya sedang mencoba menerka apa yang sedang terjadi sesungguhnya, kedua orang pengawal yang mendampingi hartawan itu berjalan menghampiri diriku.

Waktu itu saya sedang kelaparan dan ketakutan, sepasang kaki mulai gemetaran, jantung berdebar kencang, akhirnya kedua mata terasa gelap dan jatuh tak sadarkan diri.




08.
Setelah siuman, saya mendapati diriku sedang terbaring di tepi sebuah sungai, pasang surut air sungai tiada henti menjernihkan pikiranku, tidak sedikit air sungai yang telah mengisi mulutku. Sambil terbatuk-batuk, saya berusaha bangkit berdiri, barulah melihat ada dua orang pelayan yang sedang mengamati diriku.

“Hei lihatlah orang ini, kondisinya sungguh memprihatinkan, tampaknya pelayan yang baru masuk ya?”

“Tentu saja, tampaknya dia belum tahu siapa majikan kita sebenarnya”.

“Betul, kalau sejak awal dia mengetahuinya, kondisinya pasti takkan separah begini”.`

“Betul, kemurahan hati majikan kita bukan pujian belaka, lihatlah para tunawisma di seluruh pelosok kota, juga berdatangan ke Keluarga Song mencari kerja, diberi makan dan tempat tinggal serta gaji dua kali lipat, menurutku mana ada lagi Dermawan yang serupa dengan majikan kita?”

Sambil berbincang, mereka beranjak pergi.




09.
“Tunggu sebentar!”, meskipun waktu itu kepalaku masih terasa pusing, tetapi kalimat “diberi makan dan tempat tinggal serta gaji dua kali lipat” seperti aliran listrik yang melintas melewati kepalaku, “Apa benar apa yang kalian katakan tadi? Apakah saya juga boleh melamar kerja di Keluarga Song?”

Kedua orang itu saling bertatap mata sejenak, salah satunya tertawa sambil berkata : “Tentu saja benar! Kalau anda berkenan, sekarang juga kami bawa anda kepada majikan kami”.

Demikianlah, dalam keheningan malam, di bawah angkasa bertaburan bintang-bintang, dengan membawa keinginan menggebu-gebu dan perasaan cemas tak karuan, mengikuti jejak langkah kedua orang tersebut memasuki sebuah lahan yang penuh keajaiban.

Ibarat mendayung perahu mengarungi angkasa luar, melewati taburan bintang-bintang dan benda angkasa lainnya, kisah hidupku mulai memasuki sebuah jalur keajaiban yang membawa perubahan besar penuh legenda.




10.
Setelah melewati taman yang luas milik Keluarga Song, tugas yang dilimpahkan padaku adalah membuang kotoran dan membersihkan kakus, meskipun agak tersiksa, tetapi tiap hari makan cukup dan tidur tenang, tidak perlu merasa was-was diusir dari gerbang kota, tidak usah berkelana lagi, dapat hidup menetap pada satu tempat, hati pun jadi tenang. Sepanjang hidupku, saya tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup seperti sekarang ini.




11.
Setiap hari saya bekerja dengan tekun, tanpa beban pikiran; satu-satunya yang membuatku merasa tidak nyaman adalah, saya selalu merasa ada sepasang mata yang sepanjang hari, secara diam-diam mengawasi diriku, mungkin takut kalau-kalau saya panjang tangan.




12.
Setelah melewati satu kurun waktu, ada lagi pelayan baru yang masuk, yakni seorang lansia yang rambutnya telah memutih, wajahnya ramah, tampaknya tidak asing, mungkin sebelumnya kami sudah pernah bersua di kolong jembatan kota lainnya.

Dia ditugaskan di bagian yang sama dengan diriku yakni mencuci kakus, makanya setiap hari kami makan dan tinggal bersama, melewati hari demi hari dalam kebersamaan. Mungkin karena sudah punya teman, bayangan orang yang mengawasi diriku tidak tampak lagi.




13.
Lansia ini orangnya baik sekali, menjaga dan memberi perhatian pada diriku, selalu bertanya padaku, apakah kamu merasa kedinginan atau kepanasan, menemaniku bercengkerama, menanyakan tentang kehidupanku di masa silam yang mengembara, mengajarkan padaku banyak kebenaran tentang kehidupan ini, memberitahukan padaku budaya dan tradisi masing-masing negara, ketika ada waktu luang, beliau akan mengajakku jalan-jalan keluar. Lama kelamaan saya semakin bersemangat dalam mengarungi kehidupan ini.




14.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa setahun telah berlalu. Suatu hari, lansia itu mengenakan satu setel pakaian yang terbuat dari bahan sutera mahal dengan pola berwarna, muncul di hadapanku, wajahnya memancarkan keluar senyuman ramah, menepuk-nepuk bahuku sambil berkata : “Anak muda, kukatakan terus terang, sesungguhnya saya adalah kepala Keluarga Song, sejak pertama kali kita bersua, saya sudah merasa sangat berjodoh denganmu, suka berada bersama denganmu”.

Mendengar ucapan lansia itu, saya hanya bisa tercengang dan berdiri bengong di sana, diam seribu bahasa. Setelah menghela nafas panjang, lansia itu melanjutkan perkataannya : “Ai! Sepanjang hidupku tidak memiliki putra maupun putri, sekarang usiaku sudah lanjut, banyak urusan yang tidak sanggup saya tangani lagi, alangkah bagusnya bila saya mempunyai seorang putra! Saya lihat kamu begitu tekun bekerja, lagi pula kita sangat berjodoh, bagaimana kalau kamu jadi anak angkatku saja”.




15.
Saat itu beragam perasaan berkecamuk di dalam hatiku, terkejut juga bercampur bahagia, cepat-cepat menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian Ayah angkatku memilih sebuah hari baik, di hadapan seluruh anggota Keluarga Song, mengumumkan secara resmi mengangkatku jadi putranya, bahkan juga memberi nama baru padaku, yakni Song Ni-la.




16.
Sejak itu beliau mengajarkan padaku bagaimana cara memimpin dan mengelola usaha keluarga, bagaimana cara berbisnis dan berinteraksi dengan orang lain. Tidak lama kemudian, beliau menyerahkan seluruh kepengurusan rumah tangga kepadaku.




17.
Ayah angkat begitu memandang berat padaku, dalam hatiku saya bertekad membalas budi kebajikannya, membantu beliau menangani semua urusan manor dengan jelas dan bertanggung jawab. Makanya saya mengerahkan segenap daya upaya, alhasil beberapa tahun kemudian, usaha keluarga mengalami kemajuan pesat, setiap hari meraup keuntungan berlimpah buat Ayah angkat, sedangkan saya masih tetap mengambil gaji yang layak buat diri sendiri.




18.
Tiba-tiba pada suatu hari, Ayah angkat mengutusku menyebarkan undangan kepada para bangsawan dan tokoh-tokoh penting di seluruh pelosok negeri, mengundang mereka datang dan berkumpul di manor Keluarga Song.

Setelah meneguk tiga cangkir arak, Ayah angkat berdiri dan berkata : “Hari ini saya mengundang hadirin datang kemari, tujuannya adalah untuk mengumumkan sebuah hal yang sangat penting, sebelumnya izinkan saya menceritakan sepenggal kisah masa silamku.........”




19.
“Semasa kecilku, keluargaku sangat miskin, usia 12 tahun sudah bekerja mencari nafkah, melewati cobaan hidup yang sulit dibayangkan orang lain, akhirnya dengan mengandalkan kebijaksanaan dan ketekunan, saya berhasil menjadi mendirikan perusahaan dan membangun keluarga”.




20.
“Namun di dunia ini tidak hal yang sempurna, setelah menikah tidak dikaruniai buah hati, sampai usiaku mencapai 40 tahun, akhirnya saya memiliki seorang bayi laki-laki yang lucu, sejak itu siang malam saya berusaha melindunginya, bermain dengannya dengan gembira”.

Pengalaman mukjizat seorang anak pengemis Bgn 2

Judul asli :

丐帮弟子奇遇记 | 念佛漫画