Sepatah Amituofo
menyelamatkan arwah bayi
01.
Namaku
adalah Shen Jia-xuan, tahun ini berusia 19 tahun. Mama-ku adalah sahabat Dharma
dari Aliran Tanah Suci di Singapura, seorang praktisi pelafal Amituofo yang
tulus, walaupun Mama selalu menjelaskan padaku tentang penyelamatan Maitri
Karuna Buddha Amitabha, menasehatiku supaya senantiasa melafal Amituofo,
terutama ketika bertemu kesulitan, hendaknya mengingat dan melafal Amituofo, namun
saya selalu merasa tidak memahami metode ini secara menyeluruh, makanya saya
tidak begitu tekun melafal Amituofo.
02.
Pada
awal September 2016, oleh karena sekolah sedang libur, saya bekerja di sebuah Department
Store (toko penjual pakaian) di Orchard Road.
03.
Pada
tanggal 5 September sekitar pukul 3 sore lewat, tiba-tiba ada seorang wanita
hamil berwajah pucat yang sedang mengalami pendarahan, keluar dari lift,
menghampiri dan berkata padaku : “Tolong aku, tolong aku! Saya merasa sangat
kesakitan.......”, lalu nafasnya sesak dan jatuh lemas.
04.
Sepanjang
hidupku belum pernah mengalami peristiwa mencengangkan sedemikian rupa, melihat
kondisi ibu hamil ini yang sedang mengalami pendarahan, firasatku mengatakan
celaka. Salah seorang rekan kerjaku segera menelepon Rumah Sakit, tetapi oleh
karena ketakutan dan gugup sehingga tidak sanggup mengutarakannya keluar.
05.
Saat
itu pemilik toko segera berkata : “Sebelum mobil ambulans tiba, jangan sampai
dia pingsan tak sadarkan diri, kalau tidak, maka nyawanya akan terancam!”
06.
Waktu
itu entah darimana munculnya niat pikiran begini, dalam pikiranku
terngiang-ngiang ucapan Mama, “Lafallah Amituofo, lafallah Amituofo”. Saat itu
saya masih ragu, mau lafal “Amituofo” atau “Namo Amituofo”. Saat itu pula saya
teringat pesan pemilik toko, jangan biarkan dia ketiduran, kalau begitu lebih
baik saya suruh dia melafal “Namo Amituofo” saja, selain lebih panjang juga
makan banyak waktu, supaya dia jangan ketiduran dan tak sadarkan diri.
07.
Saya
bilang ke ibu hamil ini : “Bu, ikuti saya melafal “Namo Amituofo” ya, jangan
sampai ketiduran ya!”. Saya mulai melafal “Namo Amituofo”.
08.
Ibu hamil ini sangat penurut, dia mengikuti saya melafal Amituofo, namun tidak
kedengaran suaranya, hanya tampak bibirnya bergerak-gerak, mungkin kondisinya
sudah sangat lemah.
09.
Mengherankan
juga, ketika dia melafal Amituofo, nafasnya yang tadinya terengah-engah
sekarang sudah jadi stabil, keadaan di sekeliling yang tadinya panik,
berangsur-angsur mulai tenang kembali, pandangan sebagian besar orang tertuju
padaku yang sedang menuntun ibu hamil ini melafal Amituofo, mereka semuanya
mengheningkan diri, tidak ada seorang pun yang datang mengganggu.
10.
Sekitar
15 menit kemudian, mobil ambulans tiba, saya mendampingi ibu hamil ini sampai
ke Rumah Sakit, sepanjang jalan, saya tidak berhenti melafal Amituofo. Sampai
melihatnya masuk ke dalam kamar pasien, barulah saya kembali ke tempat kerjaku.
11.
Hari
kedua, ibu ini (Nyonya A) telah keluar dari Rumah Sakit, dan tidak mengalami
penderitaan sama sekali.
12.
Hari
ketiga, Nyonya A datang ke toko pakaian
untuk menyampaikan ungkapan terima kasih. Beliau berkata : “Setelah melalui
pemeriksaan, dokter memastikan kandunganku mengalami keguguran, apabila
terlambat 5 menit lagi saya baru diantar ke Rumah Sakit, nyawaku juga bisa
melayang karena kehilangan banyak darah.
13.
Dia
bertanya padaku, apa itu “Namo Amituofo”? Kenapa bisa begitu berguna? Oleh
karena kondisinya waktu itu sudah sangat kritis, dalam kondisi setengah sadar,
dia ikut melafal Amituofo, dia melihat seberkas cahaya yang tidak menyilaukan
mata, menyinari dirinya, dia merasakan jiwa raganya sangat nyaman,
penderitaannya berangsur-angsur berkurang.
14.
Yang
paling menakjubkan adalah pada malam hari dimana dia mengalami keguguran,
suaminya (Tuan A) bermimpi melihat seorang bayi yang berwibawa dengan gembira
melambaikan tangan berpamitan dengannya.
Saat
itu si bayi duduk di atas tahta Bodhisattva Avalokitesvara, di sekelilingnya
ada bunga berwarna merah jambu, lantainya berwarna keemasan, indah sekali.
15.
Kemudian
saya berpikir, yang dia maksud dengan “tahta Bodhisattva Avalokitesvara” pasti
adalah tahta Bunga Teratai, oleh karena Tuan A ini belum pernah belajar Ajaran
Buddha, jadi belum pernah melihatnya, tidak tahu bahwa itu adalah tahta Bunga
Teratai, sedangkan tempat yang indah tersebut pasti adalah seperti yang
dikatakan Mama sebagai Tanah Suci Buddha Amitabha, yakni Alam Sukhavati.
16.
Kemudian
ada orang yang mengusulkan pada mereka, apakah perlu membakar uang kertas
kepada arwah bayi? Saat ini, Tuan A berkata, lingkungan di sekitar arwah bayi
adalah emas, jadi buat apa bakar uang kertas buat dia? Pikir-pikir masuk akal
juga.
17.
Saya
menasehatinya : “Hendaknya kalian sekeluarga perbanyak melafal Amituofo buat
arwah bayi, hanya dengan melafal Amituofo, Buddha Amitabha akan mewujudkan
harapan kalian”.
18.
Tuan
A dan Nyonya A membawa pulang jasad bayi mereka lalu dimasukkan ke dalam
keranda, sambil melafal Amituofo. Oleh karena belum belajar Ajaran Buddha, maka
tidak tahu menghidupkan mesin pelafal Amituofo, mereka juga tidak tahu pakai
nada apa, pokoknya melafal saja seadanya, namun tetap berkesinambungan.
19.
Pada
hari ke-4, Nyonya A melihat Bodhisattva bayi berdiri di angkasa sambil tersenyum
gembira padanya, boleh dikatakan Tuan A dan Nyonya A telah mendapat pemberitahuan
bahwa bayi mereka telah terlahir di Alam Sukhavati.
20.
Pada
hari ke-5, mereka melafal Amituofo hingga 10 jam lamanya, hari ke-6 mereka
melafal Amituofo hingga 12 jam lamanya, boleh dikatakan sudah sangat tulus
adanya.
Hari-hari
berikutnya, Nyonya A bersama ibu mertuanya, tetap melafal Amituofo di rumah,
setelah capek mereka beristirahat, usai itu melanjutkan melafal lagi.
21.
Pada
hari ke-6, Tuan A pulang dari kerja, begitu memasuki rumah, langsung tercium
keharuman istimewa. Padahal mereka tidak menyalakan dupa, juga tidak menyemprot
minyak wangi, kenapa bisa ada keharuman seperti ini? Mungkin inilah mukjizat
dari Buddha.
22.
Bukan
hanya keluarga mereka yang pernah mengalami mukjizat sedemikian rupa, bahkan
saya sendiri juga pernah dua kali mengalami mukjizat yang sama. Setelah
melewati hari ke-6, pada suatu malam, saya bermimpi melihat Bodhisattva bayi
ini tersenyum padaku, sambil membawa sekuntum Bunga Teratai yang kecil untukku.
23.
Usai
itu, saya juga bermimpi Bodhisattva bayi, hanya saja kali ini dia duduk di atas
tahta Bunga Teratai, Bunga Teratai ini seluas ruang tamu rumahku, lagi-lagi dia
memberiku sekuntum Bunga Teratai yang kecil.
24.
Setelah
bangun tidur, saya bergumam : “Anda kan punya tahta Teratai yang begitu
luasnya, bagikan separuh saja buatku, tidak jadi masalah bukan!”
Kemudian
Venerable Jingben berkata, mungkin maksudnya adalah Bodhisattva bayi ingin saya
lebih giat lagi melafal Amituofo; selama ini saya jarang melafal Amituofo,
makanya kuntum Bunga Terataiku begitu mungil, mulai sekarang saya harus giat
melafal Amituofo supaya mendapat “Bunga Teratai Jumbo”.
25.
Meskipun
bayi yang tak berjodoh ini telah pergi buat selama-lamanya, namun Nyonya A
merasa sangat terhibur. Selain bayinya telah terlahir di Negeri Buddha
Amitabha, jasad bayi tersebut masih utuh dan bagus (meskipun saat ibunya
mengalami keguguran, janin baru berusia 4 bulan). Kondisinya tidak seperti
janin yang keguguran.
26.
Maka
itu, walaupun sudah melewati dua minggu si bayi meninggal dunia, Nyonya A masih
begitu tulus melafal Amituofo setiap harinya. Dia berkata, lagi pula selama
menjalani masa nifas, dia juga begitu luang, tidak mengerjakan apa-apa, makanya
tiap hari melafal Amituofo.
27.
Dia
juga berkata, dengan melafal Amituofo, waktu terasa cepat berlalu, selain itu
juga merasa sangat bahagia, hati tenteram, perasaan ini tak terungkapkan dengan
kata-kata.
28.
Mungkin
inilah yang dikatakan sebagai penyelamatan dari Maitri Karuna Buddha Amitabha!
Saya juga merasa begitu terhibur, bagaimana pun hari itu saya menyaksikan
langsung janin itu meninggal dunia di depan mataku, peristiwa yang begitu
memilukan hati, tetapi kini dia telah terbebas dari segala penderitaan.
Namo
Amituofo.
Judul asli :