Tukang Tambal Kuali Guo Lou-jiang
1. Master Tanxu pernah menceritakan sebuah kisah sebagai berikut, pada
periode pemerintahan Tiongkok Nasionalis (1912-1945), Master Dixian pernah
tinggal selama bertahun-tahun di Vihara Gunung Emas di Zhenjiang (Provinsi
Jiangsu). Suatu hari, sahabat sekampungnya datang mengunjunginya, yang juga
merupakan teman bermain saat kanak-kanak. Orang ini berprofesi sebagai tukang
tambal kuali atau “Guo Lou-jiang”, yakni yang menambal piring, mangkok dan
peralatan dapur Tiongkok tempo dulu.
2. Guo Lou-jiang mengutarakan niatnya menjadi Bhiksu, berguru pada
Master Dixian. Master Dixian berkata : “Duh, kamu mana bisa! Usiamu sudah
segini! Sudah 40 sekian tahun, tidak pernah sekolah, mau belajar ajaran sutra
juga sudah sulit; menjalani pertapaan juga sudah tidak sanggup lagi. Kalau kamu
jadi Bhiksu, bukankah namanya cari masalah sendiri, bukan?”
Walaupun sudah dinasehati berulang kali, tapi Guo Lou-jiang tetap
bersikukuh pada pendiriannya. Akhirnya Master Dixian dengan terpaksa berkata :
“Kalau kamu bersikeras jadi Bhiksu, maka harus patuh pada ucapanku, barulah saya
mau menerimamu jadi murid”.
3. Guo Lou-jiang langsung menyetujuinya, kemudian Master Dixian
melanjutkan perkataannya : “Setelah ditabhiskan, kamu tidak perlu mengikuti
Upacara Pengambilan Sila (Upasampada), saya akan carikan sebuah Cetiya, kamu
tidak boleh keluar dari Cetiya, setiap hari melafal Amituofo dengan setulusnya.
Saya juga akan carikan beberapa orang donatur untuk mendukungmu, memberi
persembahan makanan buat dirimu”.
4. Master Dixian mencarikan sebuah Cetiya di Ningbo (Provinsi Zhejiang)
buat Guo Lou-jiang, berpesan padanya supaya menetap di dalam Cetiya dan hanya
melafal sepatah Namo Amituofo saja. Kalau sudah capek maka beristirahat,
selesai istirahat lanjutkan lagi melafal, siang malam melafal berkesinambungan
tak terputus, setiap hari ada seorang Nenek yang akan datang menyiapkan
hidangan buatnya.
5. Guo Lou-jiang begitu patuh pada kata gurunya, apa yang dikatakan
Master Dixian, dia jalani sebagaimana mestinya, dalam hati kecilnya, dia begitu
yakin bahwa gurunya telah memilih metode terbaik buat pelatihan dirinya. Namun
dia tidak tahu manfaat apa yang akan dipetiknya kelak!
Guo Lou-jiang waktu dulu berprofesi sebagai tukang tambal kuali, memikul
beban berat, sepasang kakinya kuat, maka itu dia melafal Amituofo sambil berjalan
mengelilingi ruang kebaktian (pradaksina), setelah capek barulah duduk sambil
melafal Amituofo, demikianlah dia melafal Amituofo hingga 3 atau 4 tahun
lamanya, tidak pernah melangkah keluar dari Cetiya.
6. Suatu hari Guo Lou-jiang memberitahu Nyonya tua yang sehari-hari
bertugas memasak buatnya : “Besok Anda tidak perlu datang memasak, saya tidak
makan siang lagi”. Lalu dia juga berkata
bahwa di daerah setempat ada dua orang famili dan sahabatnya, dia hendak
mengunjungi mereka.
Setelah pulang ke Cetiya, dia berpesan lagi pada Nyonya tua : “Besok
pagi Anda tidak perlu datang memasak lagi”.
Nyonya tua berpikir mungkin tadi Guo Lou-jiang mengunjungi famili dan
sahabatnya, esoknya ada yang mengundangnya makan.
7. Hari berikutnya, Nyonya tua teringat akan Guo Lou-jiang, ketika waktu
makan tiba, dia pergi ke Cetiya untuk melihat apakah Guo Lou-jiang sudah pulang
belum. Sampai di depan pintu, Nyonya tua berkata : “Guru sudah pulang dari
undangan makan ya?”. Tetapi tidak ada jawaban dari dalam Cetiya. Akhirnya
Nyonya tua masuk ke dalam dan melihat Guo Lou-jiang berdiri di samping tempat
tidurnya, wajahnya menghadap keluar jendela, tangannya menggenggam tasbih.
Nyonya tua keheranan kenapa Guo Lou-jiang diam terus, tidak menjawab
pertanyaannya. Ketika dilihat lebih seksama, ternyata beliau telah meninggal
dunia dengan posisi berdiri! Nyonya tua kaget sekali, dia segera memberitahu
para tetangga : “Guru meninggal dunia dengan posisi berdiri!”. Warga sekitar
pun berbondong-bondong datang menyaksikan.
8. Mereka melihat sepasang tangan Guo Lou-jiang, satunya memegang tasbih,
satunya lagi mengepal menggenggam sesuatu, ketika dibuka, ternyata di dalamnya
adalah uang sejumlah 8-9 dolar. Ini adalah seluruh tabungannya selama menjadi
tukang tambal kuali. Dia khawatir setelah wafat tidak ada yang tahu uang
simpanannya, makanya dia taruh di genggaman tangannya, berdiri melafal Amituofo
terlahir ke Alam Sukhavati. Dia sengaja menyiapkan uang tersebut, supaya orang
lain yang menemukannya lebih mudah menangani urusan kematiannya.
9. Kemudian, ada orang yang mengirim surat kepada Master Dixian : “Murid
Anda meninggal dunia dengan posisi berdiri!”. Master Dixian segera menaiki perahu
dan tiba pada hari kedua.
Melihat jasad muridnya sudah berdiri selama 2-3 hari di sana, Master
Dixian segera mengurus upacara perkabungan. Master Dixian berkata : “Hebat!
Tidak sia-sia kamu meninggalkan keduniawian, bahkan lebih hebat dibandingkan
dengan ketua vihara, pencapaian serupa dirimu ini, tidak banyak dijumpai!”
10. Setelah menyelesaikan ceritanya, Master Tanxu berkata : “Seorang
pekerja kasar seperti Guo Lou-jiang melafal Amituofo hanya dalam kurun waktu 3-4
tahun saja, berdiri dan pergi begitu leluasanya. Saya dengar kisah ini dari
Master Dixian sebanyak dua kali, ini merupakan kejadian nyata. Praktisi
sekalian hendaknya menyadari bahwa metode melafal Amituofo jauh melampaui
segala metode lainnya, baik itu berupa metode Zen, Tantra dan sebagainya!
Metode melafal Amituofo dapat diamalkan oleh semua orang, juga tidak perlu
harus memahami ajaran sutra. Asalkan bersedia melafal Amituofo, tidak ragu,
tidak bercabang (terfokus), tidak terputus, maka siapapun dapat terlahir di
Negeri Buddha Amitabha!
Naskah Mandarin :
http://xiyuee.blogspot.com/
http://xiyuee.blogspot.com/